OLEH : Sri Haldoko
Pengajar Bahasa Inggris SMA Negeri 2 Brebes
Pengajar Bahasa Inggris SMA Negeri 2 Brebes
Apa sih
bahasa? Bahasa sesungguhnya hanyalah simbol-simbol bunyi-bunyian yang empiris,
maksudnya terbukti dengan adanya kodefikasi berupa bentuk-bentuk, kita
mengenalnya dengan huruf. Disamping itu simbol-simbol itu juga mempunyai makna
yang non-empiris, maksudnya bisa jadi bunyi-bunyian tersebut di satu tempat
mempunyai makna yang beda dengan di tempat lain, kita mengenalnya dengan
arbriter.
Lalu
dari mana manusia bisa berbahasa? Banyak teori yang berusaha menjawab
pertanyaan ini tapi ada dua mainstream pemikiran tentang itu. Bloomfield bilang
an infant required language by imitating surrounding. Kita tahu Bloomfield
adalah pengikut pemikiran Ferdinand de Saussure sebagai peletak Strukturalism
dalam Modern Linguistics, sementara de Saussure melahirkan teorinya setelah
mensintesa pemikiran-pemikiran Plato. Jadi kalau kita lacak dari tulisan
Bloomfield sebenarnya hal itu berakar dari pikiran Plato tentang mimeo atau
mimetic (meniru). Dalam penemuannya itu, ia menandaskan, kemampuan berbahasa
manusia adalah bentukan dari alam (lingkungan keluarga dan masyarakat), manusia
itu dibesarkan. bagaikan kertas kosong, alam mengisi dan membentuk kemampuan
manusia itu. Kita mengenalnya sebagai Bloomfieldian behaviorism.
Yang
kedua adalah pendapatnya Chomsky. Dia berpendapat manusia tidak mungkin begitu
saja bisa berbahasa tapi diberkahi LAC, Language Acquisition Device-sebuah
perangkat buat mengakuisisi bahasa- yang bisa ruled govern creativity atau
kemampuan menciptakan bahasa sendiri. Hal ini berarti membantah keras teori
Bloomfield. Sebagai sebagai ahli Matematik dia berpikir matematis. Dalam
prinsip mimetic/meniru, seorang yang meniru pasti mempunyai kemampuan menyimpan
dalam memori yang lebih rendah dari yang ditiru. Maksudnya, kalau kita melihat
permainan menirukan kalimat secara berantai maka dari 20 anak yang menirukan
kalimat maka anak ke 20 bisa jadi tidak mampu menirukan kalimat secara utuh
seperti anak ke dua, apalagi jika sampai anak ke 100. Kita tidak bisa bayangkan
kalau teori Bloomfield diterapkan dengan asumsi bahwa Adam adalah generasi
pertama manusia maka harusnya kita masih bisa menguasai bahasa kaum Adam.
Barangkali apa yang terjadi Papua-sebagai daerah yang dikenal terkaya dari
aspek linguistic-bisa dijadikan pemikiran. Disana terdapat ribuan suku atau
sub-suku dengan bahasanya sendiri-sendiri walaupun kadang jumlah satu suku
hanya satu RT dimana jika terjadi perang suku dan punah suatu suku maka punah
juga bahasanya. Tapi jika ada satu atau dua orang yang selamat maka dia mampu
menciptakan bahasa sendiri yang kadang jauh berbeda dengan bahasa asalnya. Kita
semua tahu dahulu di Papua sering terjadi perang suku sehingga bahasa bisa
“datang dan pergi” kapan saja. Chomsky meyakini hal itu sebagai kemampuan
naluriah yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Suatu hal yang mustahil bila
kemampuan itu semata-mata dianggap sebagai hasil pembelajaran dari alam atau
kedua orang tuanya. Penguasaan terhadap tata bahasa sebuah bahasa bukanlah hal
yang mudah, terlebih untuk tingkat kanak-kanak.
Chomsky
juga melakukan penelitian pada perkembangan berbahasa seorang anak. Seorang
anak dapat menguasai bahasa ibunya dengan mudah dan cepat, bahkan pengetahuan
itu juga diikuti oleh sense of language dari bahasa itu, yang lebih mengarah
pada keterampilan dalam tata bahasa. Mereka dapat mengenal cita rasa bahasa itu
sehingga mampu merangkai kalimat dengan tepat, meski mereka tak mungkin bisa
menjelaskannya.
Sebenarnya, dia tidak serta-merta menolak teori behaviourisme secara total, ia
mengakui peran serta alam dalam membentuk potensi bawaan ini. Bila bayi orang
Jepang dibawa dan dibesarkan di Indonesia, ia akan menguasai bahasa serta tata
bahasa Indonesia, dan begitu juga dengan bayi-bayi lainnya. Oleh karena itulah,
Chomsky meyakini bahasa potensial, yang ada pada setiap manusia, itu sebagai
bahasa universal. Teori linguistik Chomsky itu terlihat lebih humanis daripada
teori behaviourisme. Aliran behaviourisme menganggap manusia sebagai patung
yang diukir oleh sang arsitek bernama lingkungan, atau bagaikan robot yang
sudah diatur sedemikian rupa oleh ilmuwan penciptanya.
Teks dan
Konteks
Tidak diragukan lagi tujuan kita
berbahasa adalah agar terjadi komunikasi. Masalahnya adalah bagaimana bentuk
komunikasi terjadi. Sampai disini para ahli mempunyai pendapat yang beragam.
Mari kita lihat beberapa diantaranya. Menurut Pit Corder ada dua jenis
komunikasi; Intentional (disengaja) dan Unintentional (tidak disengaja). Simak
ilustrasi berikut. Jika kita melihat seorang tetangga berjalan disepanjang
jalan depan rumah kita tanpa dia sadar kita memperhatikannya, sering hal itu
memancing kita membuat konklusi tentang kira-kira kepribadian dia seperti apa,
tentang kira-kira dia mau kemana,-hanya dari cara dia berjalan. Dalam hal ini
cara dia berjalan seakan-akan “memberi tahu” kita sesuatu dan semua orang pun
faham bahwa dia tidak bermaksud dengan sengaja berkomunikasi dengan kita. Ini
yang dimaksud Unintentional Communication; mengkomunikasikan sesuatu tanpa
sengaja. Menurut Marshall dalam Pit Corder tindak komunikasi diatas disebut informative
sedang jika tindak komunikasi dilakukan dengan sengaja disebut comunicative.
Tetapi bisa juga cara orang berjalan, berbicara itu dibuat-buat sehingga orang
terkecoh. Semua tingkah kita memang bersifat informatif dan bisa digunakan
untuk komunikasi. Tetapi ini bukan berarti bahwa si penerima selalu bisa memahami
apa yang dimaksud oleh si pengirim. Dia memerlukan pengetahuan tentang itu.
Perbedaaan antara komunikasi sengaja atau tidak tergantung pada si pengirim,
sedang informatif atau tidak tergantung pada si penerima.
Selanjutnya simak Halliday dan Hasan
mengulas fungsi bahasa. Dia membagi empat fungsi yang bermakna dalam
komunikasi. Jika ada kalimat “Kau tinggalkan bekas luka di pelipisnya” atau
tindakan seseorang yang memukul muka maka Tindak Komunikasi (TK) tersebut
dinamakan Experiential meaning/makna pengalaman karena ada unsur
lingkungan (Circumstantial element) yang dikenai proses tindakan. Seorang guru
yang meminta muridnya melakukan sesuatu termasuk dalam Interpersonal meaning
/ makna antar pelibat karena terjadi interaksi antara pembicara dan pendengar
ditandai dengan respon dari pendengar. Dan jika dalam TK terdapat
konsekwensi atau tindakan yang membuat
adanya konsekwensi seperti
“jika….maka….. maka hal ini terjadi logical meaning / makna logis. Contohnya dalam cuplikan puisi
yang dikutip Halliday dalam bukunya, “Drink to me only with thine eyes And I
will pledge with mine/Minumlah untukku hanya dengan matamu dan aku akan
berjanji dengan milikku”, kalimat tersebut membawa konsekwensi tertentu
atas tindakan tertentu. Sedangkan tekstual meaning / makna tekstual berfungsi
mengorganisasikan pengalaman-pengalaman, makna-makna logis dan
interpersonal ke dalam suatu koherensi text.
Yang terakhir adalah menurut Gillian
Brown dan George Yule, yang menyatakan bahwa fungsi bahasa yang mengungkapkan
“isi”- yaitu perasaan, mood, sikap pembicara- disebut transaksional
sedang fungsi bahasa yang terlibat dalam pengungkapan hubungan-hubungan sosial
dan sikap pribadi disebut interaksional. Pada intinya komunikasi
transaksional artinya komunikasi untuk menyampaikan informasi seperti dikatakan
Lyons (dalam Brown dan Yule) bahwa ia
terutama akan tertarik pada ‘penyampaian informasi factual atau proposional
yang disengaja’. Demikian juga dengan Bennett (dalam Brown dan Yule) bahwa
komunikasi adalah usaha pembicara untuk memberitahukan sesuatu kepada pendengar
atau menyuruhnya melakukan sesuatu. Bahasa yang dipakai dalam situasi seperti
itu ‘berorientasi pesan’. Jadi pastikan agar tidak terjadi salah komunikasi
antar pemberi dan penerima pesan. Kita tidak bisa bayangkan jika terjadi salah
komunikasi antara polisi dan pengendara, pilot dengan petugas ATC, dokter
dengan pasien atau guru dengan murid. Bencana akan terjadi jika pesan tidak
diterima dengan semestinya oleh penerima, sehingga perincian informasi yang
benar menjadi mutlak.
Selanjutnya untuk memahami
komunikasi interaksional perhatikan illustrasi sebagai berikut: Dua orang
yang tidak saling kenal berdiri di halte bus sambil menggigil kedinginan
terkena angin musim salju dan yang seorang berpaling kepada yang lain sambil
berkata,”Aduh dinginnya!”, maka tidak mungkin maksud TK tersebut bermaksud
memberi informasi tentang dinginnya udara. Rasanya jauh masuk akal jika maksud
pembicara adalah kesediaannya untuk bersahabat dan ngobrol. Apalagi di Inggris
topik udara/cuaca menjadi ice breaker yang paling umum.
Sejauh ini
kita sudah bicara tentang bahasa dan fungsi-fungsinya, tapi ada satu yang belum
kita bahas yang merupakan bidang garap bahasa yaitu teks dan konteks, karena
jalan menuju pemahaman bahasa adalah kajian teks yang selalu disandingkan dengan konteks.
Menurut Halliday dalam sebuah TK muncul empat makna sekaligus dan bisa
dikodifikasi menurut konteks situasi.
Ada
banyak teks di sekitar kita apakah dilisankan, tertulis, atau kejadian-kejadian
non-verbal lainnya. Nah.. teks yang menyertai atau melingkupi teks disebut
konteks. Itulah kenapa Halliday memulai pembahasan hal ini dari konteks atau
disebut konteks situasi dengan asumsi bahwa dalam kehidupan sesungguhnya
konteks mendahului teks.
Beragam
jenis konteks dapat dilihat dari tingkatan pragmatisnya, kami berikan
illustrasi-ilustrasi sebagai berikut
untuk menggambarkan pragmatisme konteks yang beragam:
Ada dua mobil yang terlibat
tabrakan, kedua pengendara mobil tersebut keluar dari mobil dan saling maki.
Maka kalimat-kalimat yang diproduksi keduanya sangat pragmatis dan menjadi
bagian dari situasi yang berlangsung. Kalimat-kalimat tersebut adalah teks
sementara kejadian tabrakan adalah konteks. Kejadian tabrakan mendahului
teks-teks yang dihasilkan.
Kegiatan ndongeng bagi sebagian
kalangan masyarakat tradisional adalah hal umum. Seperti kebanyakan dongeng
ataupun hikayat, isi cerita tidak berhubungan langsung dengan situasi ketika
hikayat itu disampaikan, apakah disampaikan di malam hari ataupun pagi hari, di
luar rumah ataupun di balai-balai. Teks yang tercipta (dongeng/hikayat) amat
sangat tidak pragmatis. Dalam arti ini konteks diciptakan oleh cerita itu
sendiri.
Tapi kadangkala hikayat/cerita
tersebut mempunyai konteks pragmatis sendiri yang dapat dihubungnkan secara
tidak langsung. Sebagai misal dongeng yang disampaikan saat musim paceklik dan
ancaman kelaparan yang berisi tentang bencana kelaparan di masa lalu dan
bagaimana kebersamaan nenek moyang mereka mengatasi masalah. Maka, cerita itu nyata
sekali berfungsi. Dengan kata lain masih ada konteks situasi meski tidak bisa
dipandangsebagai hubungan langsung.
Teks
sendiri adalah bahasa yang berfungsi, dan karena bahasa adalah sesuatu yang
bisa mengkomunikasikan maka maksud berfungsi adalah sedang melaksanakan tugas
tertentu dalam konteks tertentu sehingga memunculkan makna dalam TK tersebut
seperti ditegaskan Halliday “mempunyai makna”. Jadi tulisan “Jalanan rusak,
harap hati-hati” pun termasuk teks, bendera putih didepan gang pun sebuah teks.
Karena teks tersebut me-refer ke konteks situasi tertentu. Sementara jika kita
dapati tulisan “Anak Gaul” bukan termasuk teks karean tidak terdapat unsur
–istilah Haliday- Anaphorik (hubungan yang yang merujuk ke konteks) karena
tidak kita dapati konteks situasi yang objektif. Padahal unsur anaphoric
didapat jika text merefer kepada konteks. Semoga bermanfaat.
Sumber:
Gillian Brown and George Yule
(1983) Discourse Analysis, Cambridge University Press.
Kaelan (2001) Filsafat Bahasa, Paradigma Press. Yogyakarta.
M.A.K. Halliday and R. Hassan. (1976) Cohesion in English.
Cabridge University Press.
M.A.K. Halliday and R. Hassan. (1985) Context and Text:
Aspects of language in a social-semiotics perspective. Deakin University.
Victoria, Australia.Sri Haldoko (2002). The Relationship between Text and Illustration in Philips Advertisments in Asia Week. Unpublished Thesis.
S. Pit Corder (1973). Introducing Applied Linguistics, Penguin Education, Victoria.
Tongkronganbudaya.Wordpress.Com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar