Rabu, 25 Juli 2012

TENTANG BAHASA


OLEH : Sri Haldoko
Pengajar Bahasa Inggris SMA Negeri 2 Brebes
     Apa sih bahasa? Bahasa sesungguhnya hanyalah simbol-simbol bunyi-bunyian yang empiris, maksudnya terbukti dengan adanya kodefikasi berupa bentuk-bentuk, kita mengenalnya dengan huruf. Disamping itu simbol-simbol itu juga mempunyai makna yang non-empiris, maksudnya bisa jadi bunyi-bunyian tersebut di satu tempat mempunyai makna yang beda dengan di tempat lain, kita mengenalnya dengan arbriter.

     Lalu dari mana manusia bisa berbahasa? Banyak teori yang berusaha menjawab pertanyaan ini tapi ada dua mainstream pemikiran tentang itu. Bloomfield bilang an infant required language by imitating surrounding. Kita tahu Bloomfield adalah pengikut pemikiran Ferdinand de Saussure sebagai peletak Strukturalism dalam Modern Linguistics, sementara de Saussure melahirkan teorinya setelah mensintesa pemikiran-pemikiran Plato. Jadi kalau kita lacak dari tulisan Bloomfield sebenarnya hal itu berakar dari pikiran Plato tentang mimeo atau mimetic (meniru). Dalam penemuannya itu, ia menandaskan, kemampuan berbahasa manusia adalah bentukan dari alam (lingkungan keluarga dan masyarakat), manusia itu dibesarkan. bagaikan kertas kosong, alam mengisi dan membentuk kemampuan manusia itu. Kita mengenalnya sebagai Bloomfieldian behaviorism.
     Yang kedua adalah pendapatnya Chomsky. Dia berpendapat manusia tidak mungkin begitu saja bisa berbahasa tapi diberkahi LAC, Language Acquisition Device-sebuah perangkat buat mengakuisisi bahasa- yang bisa ruled govern creativity atau kemampuan menciptakan bahasa sendiri. Hal ini berarti membantah keras teori Bloomfield. Sebagai sebagai ahli Matematik dia berpikir matematis. Dalam prinsip mimetic/meniru, seorang yang meniru pasti mempunyai kemampuan menyimpan dalam memori yang lebih rendah dari yang ditiru. Maksudnya, kalau kita melihat permainan menirukan kalimat secara berantai maka dari 20 anak yang menirukan kalimat maka anak ke 20 bisa jadi tidak mampu menirukan kalimat secara utuh seperti anak ke dua, apalagi jika sampai anak ke 100. Kita tidak bisa bayangkan kalau teori Bloomfield diterapkan dengan asumsi bahwa Adam adalah generasi pertama manusia maka harusnya kita masih bisa menguasai bahasa kaum Adam. Barangkali apa yang terjadi Papua-sebagai daerah yang dikenal terkaya dari aspek linguistic-bisa dijadikan pemikiran. Disana terdapat ribuan suku atau sub-suku dengan bahasanya sendiri-sendiri walaupun kadang jumlah satu suku hanya satu RT dimana jika terjadi perang suku dan punah suatu suku maka punah juga bahasanya. Tapi jika ada satu atau dua orang yang selamat maka dia mampu menciptakan bahasa sendiri yang kadang jauh berbeda dengan bahasa asalnya. Kita semua tahu dahulu di Papua sering terjadi perang suku sehingga bahasa bisa “datang dan pergi” kapan saja. Chomsky meyakini hal itu sebagai kemampuan naluriah yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Suatu hal yang mustahil bila kemampuan itu semata-mata dianggap sebagai hasil pembelajaran dari alam atau kedua orang tuanya. Penguasaan terhadap tata bahasa sebuah bahasa bukanlah hal yang mudah, terlebih untuk tingkat kanak-kanak.
     Chomsky juga melakukan penelitian pada perkembangan berbahasa seorang anak. Seorang anak dapat menguasai bahasa ibunya dengan mudah dan cepat, bahkan pengetahuan itu juga diikuti oleh sense of language dari bahasa itu, yang lebih mengarah pada keterampilan dalam tata bahasa. Mereka dapat mengenal cita rasa bahasa itu sehingga mampu merangkai kalimat dengan tepat, meski mereka tak mungkin bisa menjelaskannya.
     Sebenarnya, dia tidak serta-merta menolak teori behaviourisme secara total, ia mengakui peran serta alam dalam membentuk potensi bawaan ini. Bila bayi orang Jepang dibawa dan dibesarkan di Indonesia, ia akan menguasai bahasa serta tata bahasa Indonesia, dan begitu juga dengan bayi-bayi lainnya. Oleh karena itulah, Chomsky meyakini bahasa potensial, yang ada pada setiap manusia, itu sebagai bahasa universal. Teori linguistik Chomsky itu terlihat lebih humanis daripada teori behaviourisme. Aliran behaviourisme menganggap manusia sebagai patung yang diukir oleh sang arsitek bernama lingkungan, atau bagaikan robot yang sudah diatur sedemikian rupa oleh ilmuwan penciptanya.

Teks dan Konteks
Tidak diragukan lagi tujuan kita berbahasa adalah agar terjadi komunikasi. Masalahnya adalah bagaimana bentuk komunikasi terjadi. Sampai disini para ahli mempunyai pendapat yang beragam. Mari kita lihat beberapa diantaranya. Menurut Pit Corder ada dua jenis komunikasi; Intentional (disengaja) dan Unintentional (tidak disengaja). Simak ilustrasi berikut. Jika kita melihat seorang tetangga berjalan disepanjang jalan depan rumah kita tanpa dia sadar kita memperhatikannya, sering hal itu memancing kita membuat konklusi tentang kira-kira kepribadian dia seperti apa, tentang kira-kira dia mau kemana,-hanya dari cara dia berjalan. Dalam hal ini cara dia berjalan seakan-akan “memberi tahu” kita sesuatu dan semua orang pun faham bahwa dia tidak bermaksud dengan sengaja berkomunikasi dengan kita. Ini yang dimaksud Unintentional Communication; mengkomunikasikan sesuatu tanpa sengaja. Menurut Marshall dalam Pit Corder tindak komunikasi diatas disebut informative sedang jika tindak komunikasi dilakukan dengan sengaja disebut comunicative. Tetapi bisa juga cara orang berjalan, berbicara itu dibuat-buat sehingga orang terkecoh. Semua tingkah kita memang bersifat informatif dan bisa digunakan untuk komunikasi. Tetapi ini bukan berarti bahwa si penerima selalu bisa memahami apa yang dimaksud oleh si pengirim. Dia memerlukan pengetahuan tentang itu. Perbedaaan antara komunikasi sengaja atau tidak tergantung pada si pengirim, sedang informatif atau tidak tergantung pada si penerima.
Selanjutnya simak Halliday dan Hasan mengulas fungsi bahasa. Dia membagi empat fungsi yang bermakna dalam komunikasi. Jika ada kalimat “Kau tinggalkan bekas luka di pelipisnya” atau tindakan seseorang yang memukul muka maka Tindak Komunikasi (TK) tersebut dinamakan Experiential meaning/makna pengalaman karena ada unsur lingkungan (Circumstantial element) yang dikenai proses tindakan. Seorang guru yang meminta muridnya melakukan sesuatu termasuk dalam Interpersonal meaning / makna antar pelibat karena terjadi interaksi antara pembicara dan pendengar ditandai dengan respon dari pendengar. Dan jika dalam TK terdapat konsekwensi  atau tindakan yang membuat adanya konsekwensi seperti  “jika….maka….. maka hal ini terjadi logical meaning  / makna logis. Contohnya dalam cuplikan puisi yang dikutip Halliday dalam bukunya, “Drink to me only with thine eyes And I will pledge with mine/Minumlah untukku hanya dengan matamu dan aku akan berjanji dengan milikku”, kalimat tersebut membawa konsekwensi tertentu atas tindakan tertentu. Sedangkan tekstual meaning / makna tekstual berfungsi mengorganisasikan pengalaman-pengalaman, makna-makna logis dan interpersonal ke dalam suatu koherensi text.
Yang terakhir adalah menurut Gillian Brown dan George Yule, yang menyatakan bahwa fungsi bahasa yang mengungkapkan “isi”- yaitu perasaan, mood, sikap pembicara- disebut transaksional sedang fungsi bahasa yang terlibat dalam pengungkapan hubungan-hubungan sosial dan sikap pribadi disebut interaksional. Pada intinya komunikasi transaksional artinya komunikasi untuk menyampaikan informasi seperti dikatakan Lyons (dalam Brown dan Yule)  bahwa ia terutama akan tertarik pada ‘penyampaian informasi factual atau proposional yang disengaja’. Demikian juga dengan Bennett (dalam Brown dan Yule) bahwa komunikasi adalah usaha pembicara untuk memberitahukan sesuatu kepada pendengar atau menyuruhnya melakukan sesuatu. Bahasa yang dipakai dalam situasi seperti itu ‘berorientasi pesan’. Jadi pastikan agar tidak terjadi salah komunikasi antar pemberi dan penerima pesan. Kita tidak bisa bayangkan jika terjadi salah komunikasi antara polisi dan pengendara, pilot dengan petugas ATC, dokter dengan pasien atau guru dengan murid. Bencana akan terjadi jika pesan tidak diterima dengan semestinya oleh penerima, sehingga perincian informasi yang benar menjadi mutlak.
            Selanjutnya untuk memahami komunikasi interaksional perhatikan illustrasi sebagai berikut: Dua orang yang tidak saling kenal berdiri di halte bus sambil menggigil kedinginan terkena angin musim salju dan yang seorang berpaling kepada yang lain sambil berkata,”Aduh dinginnya!”, maka tidak mungkin maksud TK tersebut bermaksud memberi informasi tentang dinginnya udara. Rasanya jauh masuk akal jika maksud pembicara adalah kesediaannya untuk bersahabat dan ngobrol. Apalagi di Inggris topik udara/cuaca menjadi ice breaker yang paling umum.

Sejauh ini kita sudah bicara tentang bahasa dan fungsi-fungsinya, tapi ada satu yang belum kita bahas yang merupakan bidang garap bahasa yaitu teks dan konteks, karena jalan menuju pemahaman bahasa adalah kajian teks  yang selalu disandingkan dengan konteks. Menurut Halliday dalam sebuah TK muncul empat makna sekaligus dan bisa dikodifikasi menurut konteks situasi.
            Ada banyak teks di sekitar kita apakah dilisankan, tertulis, atau kejadian-kejadian non-verbal lainnya. Nah.. teks yang menyertai atau melingkupi teks disebut konteks. Itulah kenapa Halliday memulai pembahasan hal ini dari konteks atau disebut konteks situasi dengan asumsi bahwa dalam kehidupan sesungguhnya konteks mendahului teks.
            Beragam jenis konteks dapat dilihat dari tingkatan pragmatisnya, kami berikan illustrasi-ilustrasi  sebagai berikut untuk menggambarkan pragmatisme konteks yang beragam:
Ada dua mobil yang terlibat tabrakan, kedua pengendara mobil tersebut keluar dari mobil dan saling maki. Maka kalimat-kalimat yang diproduksi keduanya sangat pragmatis dan menjadi bagian dari situasi yang berlangsung. Kalimat-kalimat tersebut adalah teks sementara kejadian tabrakan adalah konteks. Kejadian tabrakan mendahului teks-teks yang dihasilkan.
Kegiatan ndongeng bagi sebagian kalangan masyarakat tradisional adalah hal umum. Seperti kebanyakan dongeng ataupun hikayat, isi cerita tidak berhubungan langsung dengan situasi ketika hikayat itu disampaikan, apakah disampaikan di malam hari ataupun pagi hari, di luar rumah ataupun di balai-balai. Teks yang tercipta (dongeng/hikayat) amat sangat tidak pragmatis. Dalam arti ini konteks diciptakan oleh cerita itu sendiri.
Tapi kadangkala hikayat/cerita tersebut mempunyai konteks pragmatis sendiri yang dapat dihubungnkan secara tidak langsung. Sebagai misal dongeng yang disampaikan saat musim paceklik dan ancaman kelaparan yang berisi tentang bencana kelaparan di masa lalu dan bagaimana kebersamaan nenek moyang mereka mengatasi masalah. Maka, cerita itu nyata sekali berfungsi. Dengan kata lain masih ada konteks situasi meski tidak bisa dipandangsebagai hubungan langsung.
            Teks sendiri adalah bahasa yang berfungsi, dan karena bahasa adalah sesuatu yang bisa mengkomunikasikan maka maksud berfungsi adalah sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks tertentu sehingga memunculkan makna dalam TK tersebut seperti ditegaskan Halliday “mempunyai makna”. Jadi tulisan “Jalanan rusak, harap hati-hati” pun termasuk teks, bendera putih didepan gang pun sebuah teks. Karena teks tersebut me-refer ke konteks situasi tertentu. Sementara jika kita dapati tulisan “Anak Gaul” bukan termasuk teks karean tidak terdapat unsur –istilah Haliday- Anaphorik (hubungan yang yang merujuk ke konteks) karena tidak kita dapati konteks situasi yang objektif. Padahal unsur anaphoric didapat jika text merefer kepada konteks. Semoga bermanfaat.
Sumber:
Gillian Brown and George Yule (1983) Discourse Analysis, Cambridge University Press.
Kaelan (2001) Filsafat Bahasa, Paradigma Press. Yogyakarta.
M.A.K. Halliday and R. Hassan. (1976) Cohesion in English. Cabridge University Press.
M.A.K. Halliday and R. Hassan. (1985) Context and Text: Aspects of language in a social-semiotics perspective. Deakin University. Victoria, Australia.
Sri Haldoko (2002). The Relationship between Text and Illustration in Philips Advertisments in Asia Week. Unpublished Thesis.
S. Pit Corder (1973). Introducing Applied Linguistics, Penguin Education, Victoria.
Tongkronganbudaya.Wordpress.Com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar